Toklo bukan sekedar kerbau....ðŸ˜
Table of Contents
Di pagi yang lembab, embun masih menempel di ujung daun padi. Nafas bumi terasa tenang, suara burung kecil bersahutan, dan Toklo—kerbau kesayangan itu—melangkah pelan di lumpur sawah. Setiap hentakan kakinya adalah irama kerja keras, setiap tatapan matanya adalah janji kesetiaan.
Toklo bukan sekadar hewan. Ia sahabat. Ia tenaga. Ia bagian dari keluarga.
Toklo, sahabatku…
Toklo, penopang hidupku…
Toklo, kini kau pergi…
Detik itu, arus listrik yang dipasang untuk tikus menjelma jadi jerat maut. Tubuh Toklo bergetar, lenguhannya lirih, seakan memanggil tuannya untuk terakhir kali. Sawah yang biasanya penuh tawa petani, mendadak sunyi. Hanya ada tangisan yang jatuh ke lumpur, bercampur dengan tanah yang dulu penuh harapan.
Apakah hasil panen sepadan dengan nyawa sahabat yang setia menemani kita?
Apakah tikus lebih layak ditakuti daripada kehilangan kerbau yang memberi makan keluarga kita?
Apakah kita rela tanah yang subur berubah menjadi tanah yang menyimpan luka?
Apakah cara instan yang berbahaya benar-benar solusi, atau justru jerat yang menunggu kita sendiri?
Bayangkan tangan kasar sang petani yang gemetar, meraba tubuh sahabatnya yang sudah dingin. Bayangkan air mata yang jatuh tanpa bisa ditahan, menetes ke tanah yang seharusnya jadi sumber kehidupan. Bayangkan sunyi yang menyelimuti desa, ketika kerbau yang biasa menarik bajak kini hanya tinggal kenangan.
Ya Allah, Tuhan yang Maha Pengasih,
Ampunilah kami yang sering tergesa mencari jalan pintas,
Padahal Engkau telah ajarkan kesabaran sebagai kunci rezeki.
Lindungilah para petani, sahabat bumi yang setia,
Jauhkan mereka dari cara-cara yang membahayakan,
Berikan mereka jalan yang aman untuk menjaga sawah dan panen.
Terimalah kerbau yang gugur sebagai saksi kesetiaan di sawah kami,
Dan kuatkan hati pemiliknya yang kini berduka.
Semoga dari air mata ini lahir kesadaran,
Bahwa kehidupan lebih berharga daripada hasil sesaat.
Posting Komentar