KUHAP Baru: Jalan Terang atau Lorong yang Bisa Dipelintir ?
Table of Contents
KUHAP lama itu seperti jalan gelap, aparat punya kuasa besar, tersangka sering ditahan lama tanpa pengawasan, pengacara datang terlambat, dan rakyat kecil sering merasa sudah bersalah sebelum sempat bicara.
KUHAP baru mencoba menyalakan lampu di jalan itu: hakim ikut mengawasi sejak awal, pengacara hadir segera, pemeriksaan direkam digital, dan untuk kasus ringan ada peluang penyelesaian damai lewat restorative justice.
Bayangkan seorang mahasiswa bernama Raka ditangkap karena dituduh mencuri laptop. Dalam aturan lama, ia duduk di kursi kayu kantor polisi, sendirian, ditekan dengan suara keras, ditahan berhari-hari, orang tuanya bingung, dan hakim baru membaca berkas setelah penuh catatan polisi.
Raka merasa tak berdaya. Dalam aturan baru, polisi tetap menangkap tapi harus segera melapor ke hakim, pengacara hadir sejak awal, pemeriksaan direkam kamera, dan karena kasusnya ringan, jaksa menawarkan penyelesaian damai: Raka minta maaf, mengganti rugi, lalu pulang tanpa sidang panjang. Orang tuanya lega, Raka belajar dari kesalahan, masyarakat melihat keadilan yang lebih manusiawi.
Tapi lampu yang dinyalakan bisa juga dipadamkan. Pengawasan hakim bisa jadi sekadar tanda tangan, rekaman digital bisa dimanipulasi, restorative justice bisa dijadikan alat tawar-menawar,
dan bantuan hukum tetap timpang antara kaya dan miskin. Celah penyelewengan itu nyata, dan jika tidak diawasi, KUHAP baru bisa jadi tameng legal untuk praktik lama.
Karena itu antisipasinya harus tajam: masyarakat kritis, media dan LSM aktif mengawal, rakyat kecil diajari bahwa mereka berhak atas pengacara sejak awal, dan transparansi publik dipaksa berjalan.
Aturan bisa berubah, tapi tanpa pengawalan rakyat, hukum hanyalah teks yang bisa dipelintir. KUHAP baru bisa jadi obat penyembuh, tapi juga bisa jadi pisau yang melukai. Pilihannya ada di tangan kita: membiarkan ia jadi formalitas, atau menjadikannya senjata rakyat untuk menuntut keadilan.
Posting Komentar